Minggu, 29 Maret 2009
My Sweetheart Delisa
Ada
sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam
dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman.
Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar)
Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.
Setiap
subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadariny a sholat jama ‘
ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker
perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya
Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia
bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama ‘ ah,
Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa
yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.
Umi
Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada
anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu
juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat
agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras
agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji
akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat
dengan sempurna.
Sebelum
Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai
kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali
dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah
mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan
sempurna.
26 Desember 2004
Delisa
bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris
sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa
bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa
mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak
untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai
oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa.
Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman
tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo
orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi
kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap
khusuk.
Delisa
pelan menyebut "ta ‘ awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah".
Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya
pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".
Seratus
tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai
bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis
di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA.
Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.
Gempa
menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur
seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa,
tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti" , lantai sekolah
bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam
menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama
kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas
tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah
berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus
bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak
berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi
menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!
"Innashalati, wanusuki, wa-ma… wa-ma… wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti. ."
Delisa
gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa
takut… Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi
baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman,
sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya
digigit kalajengking?
Delisa
ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa
membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat
Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah…
Gelombang
itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah.
Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang
berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras …
SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.
Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami
sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami
tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya
keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih
bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i ‘
tidal…" "Al-la-hu- ak- bar…" Delisa harus terus membacanya! Delisa
tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.
Tepat
Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya
menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah."
Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil
Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap
Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa
terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah.
Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa
menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air
keruh. Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya.
Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah.
Darah menyembur dari mulutnya.
Saat
tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas
kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan
sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela
nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan,
sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.
"Kau
harus menyelesaikan hafalan itu, sayang…!" Ibu Guru Nur berbisik
sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis.
Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.
Minggu, 2 Januari 2005
Dua
minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya
tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang
pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil
menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi
bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa
segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki
kanannya diamputasi. Siku
tangan
kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya
dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.
Aisyah
dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga
sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi
Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari
pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu ‘ alaf setelah
melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya
menjadi Salam.
Tiga
minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan
pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal
bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari
diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi
Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan
sangat sederhana.
Delisa
kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak
korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya.
Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama
sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan
kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas!
Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan
yang akrab dengan Delisa.
21 Mei 2005
Ubai
mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu
Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik.
Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak.
Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan
baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas
pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan
bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari
situ.
Ketika
ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis
terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa
terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang
menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.
Kemilau
kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu
itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa
gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada
huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas
semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di tangan.
Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih.
Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI…..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar