Sabtu, 21 Maret 2009

Dualisme Feminisme



Apabila anda cermati dengan seksama hampir 100 % iklan layanan masyarakat entah di media elektronik maupun di media masa yang lain menggunakan perempuan sebagai “penjajanya”. Seakan-akan sebuah iklan tidak akan dilirik masyarakat apabila tidak memakai model perempuan. Mulai iklan kosmetik, makanan, pakaian dan lain sebagainya. Apa karena perempuan cenderung konsumtif? Atau karena mereka lebih luwes? Atau jangan-jangan “keindahan perempuan” menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah iklan layanan masarakat. Fenomena ini merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus yang intinya tidak lebih dari eksploitasi terhadap kaum perempuan. Adapun wacana lain yang menjadi sorotan adalah tentang pornografi dan pornoaksi, praktek aborsi, perdagangan perempuan, para buruh internasional –yang umumya didominasi perempuan- hingga kekerasanan dalam rumah tangga yang lebih banyak menimpa kaum perempuan. Hal ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih lanjut berkaitan dengan eksistensi para pembela kaum hawa. Zaman seakan-akan berulang, cara-cara dialektika selalu saja terjadi di dunia ini. Kaum perempuan yang pada mulanya diperlakukan sebagai manusia kelas dua -sebagian lagi menganggapnya sebagai barang- sekali lagi terulang di jaman modern ini, bahkan pada beberapa kasus menjadi lebih buruk dari pada itu semua. Lalu, dimanakah gerangan para pembela kemerdekaan kaum perempuan yang “katanya” memperjuangkan dengan gigih “hak-hak” mereka. Sekali lagi, pandangan feminisme seakan mendua, di tengah hiruk pikuk pembelaan kebebasan kaum hawa, ternyata mereka terjebak pada eksploitasi kapitalistik yang justru merendahkan maratabat dan kehormatan mereka sebagai manusia. Mengapa terjadi demikian?
Feminisme sebagai sebuah ide (sebuah kesadaran) yang kemudian melahirkan gerakan, pada intinya membicarakan wilayah culture. Adalah sebuah pertanyaan yang sederhana yang selalu saja didengungkan kaum feminis dari sejak lahirnya hingga hari ini, mengapa label “maskulin” harus selalu dilekatkan pada kaum laki-laki, sebaliknya label feminisme “harus” selalu dilekatkan pada perempuan. Anggapan tentang penyerobotan beragai pandangan-pandangan bahwa peradaban ini adalah milik kaum laki-laki.
Pembahasan tentang bagaimana feminisme lahir dimulai dengan pemaparan hingga munculnya kesdaran dari sekelompok orang (agen of change) terhadap adanya ketidakadilan (tidak egaliter) terhadap cara pandang masarakat terhadap wanita Pada mulanya wanita dipandang rendah oleh masarakat di sekitarnya. Pandangan ini boleh dibilang muncul di berbagai belahan dunia. Baik di barat maupun di timur –masa lalu dan mungkin masih terjadi hinga hari ini-, pandangan miring tentang kaum wanita agaknya tidak pernah berubah, bahwa wanita adalah “warga kelas dua”. Pandangan itu juga dipengaruhi oleh tradisi agama-agama. Apakah itu Hinduisme, Budhisme, Yahudi ataupun Kristen/Katolik. Dalam tradisi Hindu, perempuan dilihat sebagai pembawa keberuntungan karena merka haid, menjadi istri dan melahirkan anak. Perempuan adalah sati, yaitu perempuan yang menikah dan berkorban untuk menyelamatkan suami. Perempuan yang menikah disebut sumangalisebab dia membawa keberuntungan suami dengan menolong suami untuk dapat memenuhi tujuan hidup mausia, yaitu dharma(kewajiban), artha (kesuburan atau kekayaan) serta kama (kenikmatan seks). Bagi bangsa India –yang notabene menjadi tempat munculnya tradisi hindu-, dalam aturan manu, perempuan diposisikan hanya sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya. Perempuan tidak memiliki kebeb asan untuk menggunakan hartanya, bahkan mereka tidak berhak memiliki, sebab semua yang dimilikinya kembali kepada suaminya, atau ayahnya, aau anak laki-lakinya. Kesetiaan istri kepada suaminya dengan istri mengikuti suaminya yang meninggal dunia dengan membakar diri atau dikubur hidup-hidup.Dalam tradisi Budha, perempuan dianggap sebagai mahluk kotor yang suka menggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Laki-laki dianggap tidak memiliki kesalahan meskipun mereka jatuh dalam godaan. Dalam tradisi Yunani dan Romawi status wanita tidak lebih dari sekedar barang yang bisa diperjual belikan seenaknya saja. Kaum Yahudi memandang perempuan sebagai pelayan. Bahkan, ayahnya berhak untuk menjualnya tanpa punya pilihan. Bagi kaum Yahudi dan juga Nasrani, perempuan dianggap sebagai pangkal kejahatan dan sumber kesalahan dan dosa. Perempuan-(Hawa)-lah yang menyebabkan laknat abadi ditimpakkan kepada Adam dan keturunannya. dalam pandangan Barat Kristen, secara epistemologis perempuan atau female barasal dari bahasa Yunani femina. Kata femina berasal dari kata “fe” dan “minus”. Fe artine fides, faith (kepercayaan atau iman). Sedangkan mina berasal dari kata minus, artinya kurang. jadi femina artinya ‘seseorang yang imannya kurang
Tradisi Arab kuno tak kalah hina dalam memperlakukan kaum Hawa. Mereka memperlakukan perempuan dengan cara yang hampir mirip dengan tradisi-tradisi saudara-saudaranya di belahan bumi yang lain. Bahwa, seorang istri dapat diberikan kepada orang lain, setelah istri tersebut hamil ia boleh mengambilnya kembali. Praktek ini lazimnya dikenal dengan nikah. Pernikahan ini konon dipakai untuk tujuan perbaikan keturunan. Contoh yang lain adalah adanya nikah spontan, yang lain adalah bahwa kelahiran anak perempuan adalah aib bagi keluarga dan berbagai macam praktek pelacuran yang tentunya hanya mengarah pada praktek untuk merendahkan kaum Hawa. Melihat kondisi yang buruk itu, sejalan dengan perkembanan jaman. Perlahan hak-hak perempuan mulai diakui. Umumnya, kita sepakat bahwa kebangkitan feminisme lahir di barat. Adanya revolusi industri di barat boleh dikatakan merupakan titik tolak pergerakan feminisme di dunia. Dalam perkembangannya, sekalipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga maupun masarakat, tetapi mereka berbeda-beda dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka. Perbedaan tersebut sejauh ini telah melahirkan empat aliran yaitu; feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Akan tetapi, paham-paham itu malahan membuat perempuan semakin jauh dari kodrat mereka sebagai manusia. Nampaknya terjadi penafsiran yang salah dengan yang disebut keadilan itu sendiri. Aliran feminisme liberal dan feminisme marxisme tak lebih dari keinginan untuk mendudukan kaum laki-laki dan perempuan dalam keadaan yang sama dalam segala hal, ”Sama rata sama rasa”. Persamaan itu harus didasari oleh paham kebebasan yang lebih tepat dikatakan “kebablasan”. Paham radikal umumnya menolak adanya institusi keluarga. keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme radikal cenderung membenci laki-laki. Meski tidak ekstrem feminisme sosialis lebih memilih cara-cara dialogis dalam rangka mencari kesepahaman antara kedudukan kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada pergerakan feminisme barat agaknya tidak lepas dari cara pandang (epistemologis) barat terhadap realitas yang umumnya materialistik-sekuleristik. Bagaimanapun epistemologi barat cenderung tanpa nilai. Faktor sejarah juga turut berperan “memaksa” mereka berpandangan materialistik-sekuleristik. Pengekangan yang teramat lama dan teramat parah membuat kaum feminis barat tergerak untuk bertindak bebas tanpa batas. Lalu, apa implikasi dari itu semua? Sekali lagi, kaum hawa akan tetap terjebak dalam dunia kapitalistik. Bahwa perempuan adalah komoditi. Akibat lain adalah, perilaku budaya bebas tanpa batas hanya akan membuat mereka semakin jauh dari fitrah mereka sebagai perempuan, semakin jauh dari kemuliaan yang selalu diidam-idamkan. Kemudian, bagaimanakah seharusnya pergerakan feminisme itu? Feminisme yang benar harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan. Bahwa, pergerakan feminisme hendaknya tidak membelakangi kodrat (fitrah) kaum hawa sebagai individu pendidik. Adanya institusi perkawinan yang benar bukanlah sebuah pengekangan terhadap kaum perempuan, namun sebuah penjaminan yang akan menciptakan kesejahteraan bersama. Dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah keluarga sakinah, mawadah wa rahmah. Adapun peran-peran perempuan dalam lingkungan sosial tetap menjadi prioritas utama, namun tidak mengabaikan fungsi-fungsinya sebagai peran sebagai pimpinan keluarga yang kedua setelah suami. Sebagai pondasi keluarga, soko guru peradaban.bukankah dikatakan, “kejayaan sebuah bangsa bisa dilihat seberapa kuat peran perempuan di dalamnya”. Bagaimanapun sistem nilai tetap diperlukan. Aturan main harus ada. Agar segala sesuatu dapat berjalan dengan seimbang, sesuai takarannya, sesuai kodratnya. Sehingga kebebasan itu tidak “kebablasan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar